……untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…………..
(Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)
Pendidikan merupakan salah satu metoda yang paling fundamental
dalam mendorong kemajuan sosial
dan reformasi. Artinya, pendidikan menjadi
suatu kunci utama untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam suatu peradaban
manusia. Indonesia, negara dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa seharusnya mampu melihat
masyarakat sebagai potensi, bukan justru menjadi dalih atas ketidakmerataan
akses pendidikan karena jumlah yang terlalu banyak. Profesor Ascobat Gani[1]
pernah mengatakan bahwa seharusnya bukan hanya investasi ekonomi secara besar –
besaran yang diprioritaskan negara, melainkan investasi terhadap manusia
Indonesia yang salah satunya diperoleh dari pendidikan. Karena jelas jika kita
berinvestasi ekonomi akan ada kemungkinan gain
and loss, tetapi tidak terhadap pendidikan.
Penelitian di berbagai negara menunjukan pengaruh positif pengembangan pelayanan
pendidikan kepada sektor lain.[2]
Pendidikan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, membangun kualitas demokrasi,
serta menekan tingkat kemiskinan. Peter Lanjouw dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa penyediaan pelayanan pendidikan sangat penting, sebab
memiliki nilai instrinsik dalam
meningkatkan kemampuan dan kebebasan individu. Selain itu, pendidikan juga
memiliki nilai instrumental dalan
mendorong peningkatan pendapatan dan saling memperkuat satu dengan yang
lainnya.[3]
Setelah 66 tahun Indonesia merdeka apakah pendidikan di Indonesia sudah cukup baik?
Nyatanya bangsa ini belum bisa
terlepas dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Secara konstitusional, hak atas pendidikan
telah terjamin oleh negara dengan baik. Namun pada kenyataannya, sulit untuk
mengatakan bahwa negara telah memenuhi kewajibannya tersebut.
Persoalan-persoalan mendasar seperti akses terhadap pendidikan, tingginya angka
putus sekolah dan minimnya sarana sekolah masih menjadi isu utama bagi dunia pendidikan
kita.
Melihat berbagai permasalahan yang ada dalam dunia
pendidikan, sebenarnya dapat kita tarik benang merahnya yaitu pada Political will pemerintah kita. Bukan
berarti tidak serius, karena kami yakin bahwa pemerintah juga pasti
memikirkannya. Kuncinya adalah pada kemauan besar untuk membawa pendidikan
kepada tingkat prioritas yang lebih tinggi dan melihat pendidikan menjadi suatu
hal yang harus diperoleh semua warga negara, bukan hanya pada tataran
operasional.
Pendidikan Sebagai Hak
Konstitusional Warga Negara
Pembukaan
UUD RI 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Artinya
sistem pendidikan nasional yang
ada harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.[4]
Serangkaian pengaturan tersebut
jelas menempatkan pendidikan sebagai hak konstitusional setiap warga negara
Indonesia. Artinya, hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan
dijamin pemenuhannya oleh konstitusi (vide pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945). Konsekuensinya,
terdapat kewajiban mutlak dari negara untuk memenuhi hak tersebut.
Hal tersebut di perkuat dengan usaha
baik Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Ekosob yang menyatakan pada
pasal 13 ayat 2 e yang menyebutkan bahwa Pendidikan
Tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan,
dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan yang
cuma-Cuma secara bertahap.
Kovenan
Ekosob ini bersifat mengikat sehingga Negara pun harus mematuhi segala peraturan
yang ada di dalamnya layaknya kepatuhan terhadap Undang-undang yang dibuat DPR
dan Pemerintah. Maka, pemenuhan penyediaan pendidikan yang non diskriminatif wajib untuk dilakukan pemerintah walau dengan
dalih apapun.
Pembahasan
Berdasarkan pasal 31 ayat 3 UUD RI 1945,
disebutkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang”. Sehubungan dengan itu maka untuk mengatur
sistem pendidikan nasional, DPR menyusun UU yang dinamakan UU Pendidikan
Tinggi[5].
RUU dikti yang digadang akan menjadi penyelemat sistem
pendidikan nasional di Indonesia, nyatanya masih mengandung ruh BHP yang
cenderung liberal. Beberapa point dasar yang menjadi sorotan kami antara lain :
1.
Ketika ketetapan
tetap ada di tangan pemerintah, baik dalam pembiayaan maupun penentuan tarif
pendidikan lantas mengapa tetap dibentuk badan hukum yang notabene seharusnya
memiliki kewenangan sendiri untuk membuat suatu keputusan. Ini merupakan hal
yang kontradiktif, karena Pendidikan seharusnya memang dikelola oleh negara,
bukan diserahkan kepada mekanisme pasar.
Hal tersebut disebutkan pada
Pasal 65
(1) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64
meliputi bidang akademik
dan bidang non akademik;
(2) Otonomi pengelolaan dalam bidang akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi penetapan norma, kebijakan
operasional, dan pelaksanaan tridharma;
(3) Otonomi pengelolaan dalam bidang non-akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma, kebijakan
operasional, dan pelaksanaan dalam bidang:
a.
organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan e. sarana
prasarana lainnya.[6]
Dalam
pasal tersebut disebutkan bahwa Perguruan Tinggi nantinya akan dikelola secara
otonom, yang menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang lahir akan berdasar
pada kepentingan Perguruan Tinggi tersebut. Artinya, disaat suatu perguruan
tinggi kekurangan dana, maka dia bisa membuat kebijakan bagaimana cara paling
ideal untuk mendapatkan dana. Dan sasaran utamanya tentu saja entitas terbesar
di kampus, yaitu mahasiswa.
2. Sektor
Organisasi dan Kemahasiswaan yang diatur dalam kewenangan otonomi non akademis
Universitas, perlu diberi catatan kritis.
Pada
pasal Pasal 14 ayat (3) Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler
dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal
ini dinilai sebuah bentuk pembatasan dan control yang berlebihan pada dunia
kemahasiswaan. Disinyalir masih tumbuh semangat Normalisasi Kehidupan Kampus
pada zaman orde baru, yang setiap organisasi kemahasiswaan dapat dibekukan. Hal
ini tentu saja melanggar hak konstitusional warga Negara untuk berserikat dan
berorganisasi (Pasal 28 E UUD 1945, pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
3. Seperti
yang tertera pada pasal 66 ayat 1,
Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum untuk menghasilkan pendidikan
tinggi bermutu.
Pada pasal ini jelas bahwa perguruan
tinggi masih bisa memilih untuk menjadi badan hukum. Dimana ketika perguruan
tinggi itu menjadi badan hukum, maka sepenuhnya tata kelola dan keputusan
dilakukan secara mandiri, mendirikan badan usaha sendiri, dan juga mengelola
kekayaan negara yang dipisahkan (pasal 3). Kemandirian universitas termasuk menentukan standar biaya pendidikan
untuk peserta didik, dan jelas hal itu akan merugikan peserta didik jika biaya
yang ditetapkan tinggi. Sehingga nantinya yang akan dapat menjangkau pendidikan
tinggi hanyalah orang yang mampu membayar, lalu dimana letak keadilan dan
pemerataan yang diagungkan itu? selain dari biaya kuliah, sebenarnya
universitas boleh mencari dana sendiri, namun yang menjadi permasalahan adalah
sektor pendidikan yang kurang prospektif untuk dijadikan lahan investasi bagi
para investor.
Hal
ini dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ketika mencabut UU Badan Hukum
Pendidikan tahun 2010 lalu, yang berbunyi
“…Dalam keadaan tidak
adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran
yang paling rentan adalah peserta didik
yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah
atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta
didik. Karena BHP memiliki andalan modal tenaga pengajar, maka hal yang
paling mungkin dilakukan untuk mendapatkan sumber dana dengan cara memperbanyak
penerimaan peserta didik yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas hasil
pendidikan jika penambahan tersebut di luar kemampuan riilnya…”
4. Hal
yang rancu juga kami dapatkan pada
Pasal
84 ayat (2)
yang berbunyi Pendanaan pendidikan
tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan
mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
Pasal
ini memperjelas bahwa dengan tata kelola keuangan yang mandiri (otonomi) maka
sangat mungkin pihak kampus untuk memainkan dana dari peserta didik untuk
menutupi segala kebutuhannya. Seperti yang sudah terjadi di beberapa Kampus
BHMN. Biaya kuliah setiap tahunnya selalu naik. Uang Pangkal (sumbangan awal)
jumlahnya bisa dibilang cukup besar. Dan sudah ada beberapa kampus yang memang
hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang mampu secara financial saja. Pada
poin ini pun jelas, bahwa biaya pendidikan pun sudah di sesuaikan dengan
kemampuan mahasiswa dan orang tua
5. Mari kita lihat pasal 71 “Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat
dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional atau bentuk lain”.
BENTUK
LAIN, dengan tegas kami pertanyakan, bentuk lain yang seperti apa yang menjadi
akses masuk? Kalimat ini bisa menjadi celah bagi PT untuk membuat berbagai
akses masuk untuk menambah pendapatan kampus. Seperti yang sudah terjadi dewasa
ini. Dengan dasar PP 152 tahun 2000 yang mengamanatkan bentuk UI menjadi BHMN,
maka mulai terbuka lebarlah celah dari Universitas untuk memperluas akses
pendidikan dengan berbagai jalur masuk yang nyatanya hanya bisa dinikmati oleh
orang-orang berada. Dan apabila, dalam RUU Dikti ini masih mempertahankan
penerimaan dalam BENTUK LAIN, maka dengan tegas kami katakan, bahwa keterangan
itu perlu diperjelas dan diperjelas. Jangan sampai kerancuan pasal ini malah
mengakibatkan terjadinya bisnis penerimaan mahasiswa baru.
Dalam
sejarahnya, kebijakan adanya berbagai jalur masuk, telah mengorbankan sejumlah
orang. Mereka adalah masyarakat miskin yang tidak bisa mengakses dan tidak
memiliki dana. Pendidikan yang sebenarnya merupakan public service, seharusnya dapat memberikan pelayanan pendidikan
yang terjangkau dan juga merata. Tidak perlu adanya privatisasi pendidikan.
Sudah seharusnya pemerintah memprioritaskan hal ini karena masyarakat adalah
investasi negara yang harus dibentuk kualitasnya.
Kesimpulan
Dengan melihat analisa pasal fokus pada bentuk
otonomi dari perguruan tinggi, diketahui bahwa RUU Pendidikan Tinggi hampir
serupa atau satu ruh dengan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yaitu
bertujuan untuk adanya liberalisasi Pendidikan. Atau secara sederhana, membuka
lahan investor-investor untuk menginvestasikan uangnya untuk pengembangan
pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan dirasa bukanlah suatu lading investasi
yang subur, sehingga dampak dari kurangnya investasi atau salah satu pemasukan
universitas akan dibebankan pada peserta didik atau mahasiswa. Dan hal inilah
yang membuat UU BHP dicabut pada awal tahun 2010 lalu.
Dengan berdasar pada hal itu, dinilai bahwa
nilai-nilai otonomi yang terkandung dalam RUU Dikti belum dapat menyelesaikan
masalah aksesbilitas pendidikan Indonesia. Bahkan bisa jadi akan menjadikan
kerenggangan social yang sangat besar diantara masyarakat beruang yang dapat
mendapatkan pendidikan tinggi dengan mudah dan masyarakat miskin yang sangat
sulit mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. RUU ini dinilai hanya akan
membawa sebuah masalah baru yang lebih kompleks dan berdampak sistemik yang
dapat merugikan berbagai pihak.
Rekomendasi
Berdasar
berbagai penjabaran di atas maka kami mendesak beberapa hal berikut
- Batalkan rencana pengesahan RUU pendidikan Tinggi
- Kembalikan status perguruan Tinggi BHMN dan BLU menjadi Perguruan Tinggi
- Wujudkan Pendidikan Tinggi yang sesuai dengan UUD 1945, Kovenan Ekosob, yang terjangkau dan tanpa diskriminasi.
Sikap
Kami Badan Eksekutif Mahsiswa Ikatan Mahasiswa
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Menolak Pengesahan dan
Pembahasan RUU Pendidikan Tinggi dikarenakan masih ditemukannya ruh otonomi
pendidikan seperti yang terkandung dalam Undang-undang BHP yang seyogyanya
sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 lalu karena tidak sesuai
dengan konstitusi.
[1] Beliau adalah Guru Besar Administrasi Kebijakan Kesehatan FKM UI
[2] Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Koalisi Pendidikan , Resume Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah
Konstitusi ”Penyiasatan Anggaran
Pendidikan 20%”, hal. 5.
[3] Peter Lanjouw, Poverty, Education and Health in Indonesia:
Who enefits from Public Spending?, dalam Indonesia Corruption Watch (ICW)
dan Koalisi Pendidikan, ibid., hal.
6.
[4] lihat: konsideran huruf (c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[5] Selanjutnya disebut sebagai RUU Dikti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar