Senin, 09 April 2012

Kajian (Singkat) Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi


……untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…………..
(Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)

Pendidikan merupakan salah satu metoda yang paling fundamental dalam mendorong kemajuan sosial dan reformasi. Artinya, pendidikan menjadi suatu kunci utama untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam suatu peradaban manusia. Indonesia, negara dengan jumlah penduduk mencapai  240 juta jiwa seharusnya mampu melihat masyarakat sebagai potensi, bukan justru menjadi dalih atas ketidakmerataan akses pendidikan karena jumlah yang terlalu banyak. Profesor Ascobat Gani[1] pernah mengatakan bahwa seharusnya bukan hanya investasi ekonomi secara besar – besaran yang diprioritaskan negara, melainkan investasi terhadap manusia Indonesia yang salah satunya diperoleh dari pendidikan. Karena jelas jika kita berinvestasi ekonomi akan ada kemungkinan gain and loss, tetapi tidak terhadap pendidikan.
Penelitian di berbagai negara menunjukan pengaruh positif pengembangan pelayanan pendidikan kepada sektor lain.[2] Pendidikan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, membangun kualitas demokrasi, serta menekan tingkat kemiskinan. Peter Lanjouw dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa penyediaan pelayanan pendidikan sangat penting, sebab memiliki  nilai instrinsik dalam meningkatkan kemampuan dan kebebasan individu. Selain itu, pendidikan juga memiliki  nilai instrumental dalan mendorong peningkatan pendapatan dan saling memperkuat satu dengan yang lainnya.[3]
Setelah 66 tahun Indonesia merdeka apakah pendidikan di Indonesia sudah cukup baik? Nyatanya bangsa ini belum bisa terlepas dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Secara konstitusional, hak atas pendidikan telah terjamin oleh negara dengan baik. Namun pada kenyataannya, sulit untuk mengatakan bahwa negara telah memenuhi kewajibannya tersebut. Persoalan-persoalan mendasar seperti akses terhadap pendidikan, tingginya angka putus sekolah dan minimnya sarana sekolah masih menjadi isu utama bagi dunia pendidikan kita.
Melihat berbagai permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan, sebenarnya dapat kita tarik benang merahnya yaitu pada Political will pemerintah kita. Bukan berarti tidak serius, karena kami yakin bahwa pemerintah juga pasti memikirkannya. Kuncinya adalah pada kemauan besar untuk membawa pendidikan kepada tingkat prioritas yang lebih tinggi dan melihat pendidikan menjadi suatu hal yang harus diperoleh semua warga negara, bukan hanya pada tataran operasional.
Pendidikan Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara
            Pembukaan UUD RI 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya sistem pendidikan nasional  yang ada harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.[4]
            Serangkaian pengaturan tersebut jelas menempatkan pendidikan sebagai hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Artinya, hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dijamin pemenuhannya oleh konstitusi (vide pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945). Konsekuensinya, terdapat kewajiban mutlak dari negara untuk memenuhi hak tersebut.
            Hal tersebut di perkuat dengan usaha baik Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Ekosob yang menyatakan pada pasal 13 ayat 2 e yang menyebutkan bahwa Pendidikan Tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan yang cuma-Cuma secara bertahap.
Kovenan Ekosob ini bersifat mengikat sehingga Negara pun harus mematuhi segala peraturan yang ada di dalamnya layaknya kepatuhan terhadap Undang-undang yang dibuat DPR dan Pemerintah. Maka, pemenuhan penyediaan pendidikan yang non diskriminatif wajib untuk dilakukan pemerintah walau dengan dalih apapun.
Pembahasan
Berdasarkan pasal 31 ayat 3 UUD RI 1945, disebutkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Sehubungan dengan itu maka untuk mengatur sistem pendidikan nasional, DPR menyusun UU yang dinamakan UU Pendidikan Tinggi[5].
RUU dikti yang digadang akan menjadi penyelemat sistem pendidikan nasional di Indonesia, nyatanya masih mengandung ruh BHP yang cenderung liberal. Beberapa point dasar yang menjadi sorotan kami antara lain :
1.      Ketika ketetapan tetap ada di tangan pemerintah, baik dalam pembiayaan maupun penentuan tarif pendidikan lantas mengapa tetap dibentuk badan hukum yang notabene seharusnya memiliki kewenangan sendiri untuk membuat suatu keputusan. Ini merupakan hal yang kontradiktif, karena Pendidikan seharusnya memang dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal tersebut disebutkan pada
Pasal 65
(1) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
meliputi bidang akademik dan bidang non akademik;
(2) Otonomi pengelolaan dalam bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan tridharma;
(3) Otonomi pengelolaan dalam bidang non-akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan dalam bidang:
a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan e. sarana prasarana lainnya.[6]

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Perguruan Tinggi nantinya akan dikelola secara otonom, yang menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang lahir akan berdasar pada kepentingan Perguruan Tinggi tersebut. Artinya, disaat suatu perguruan tinggi kekurangan dana, maka dia bisa membuat kebijakan bagaimana cara paling ideal untuk mendapatkan dana. Dan sasaran utamanya tentu saja entitas terbesar di kampus, yaitu mahasiswa.

2.      Sektor Organisasi dan Kemahasiswaan yang diatur dalam kewenangan otonomi non akademis Universitas, perlu diberi catatan kritis.
Pada pasal Pasal 14 ayat  (3) Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal ini dinilai sebuah bentuk pembatasan dan control yang berlebihan pada dunia kemahasiswaan. Disinyalir masih tumbuh semangat Normalisasi Kehidupan Kampus pada zaman orde baru, yang setiap organisasi kemahasiswaan dapat dibekukan. Hal ini tentu saja melanggar hak konstitusional warga Negara untuk berserikat dan berorganisasi (Pasal 28 E UUD 1945, pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

3.      Seperti yang tertera pada pasal 66 ayat 1, Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu. Pada pasal ini jelas bahwa perguruan tinggi masih bisa memilih untuk menjadi badan hukum. Dimana ketika perguruan tinggi itu menjadi badan hukum, maka sepenuhnya tata kelola dan keputusan dilakukan secara mandiri, mendirikan badan usaha sendiri, dan juga mengelola kekayaan negara yang dipisahkan (pasal 3). Kemandirian universitas termasuk menentukan standar biaya pendidikan untuk peserta didik, dan jelas hal itu akan merugikan peserta didik jika biaya yang ditetapkan tinggi. Sehingga nantinya yang akan dapat menjangkau pendidikan tinggi hanyalah orang yang mampu membayar, lalu dimana letak keadilan dan pemerataan yang diagungkan itu? selain dari biaya kuliah, sebenarnya universitas boleh mencari dana sendiri, namun yang menjadi permasalahan adalah sektor pendidikan yang kurang prospektif untuk dijadikan lahan investasi bagi para investor.

Hal ini dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ketika mencabut UU Badan Hukum Pendidikan tahun 2010 lalu, yang berbunyi

“…Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik. Karena BHP memiliki andalan modal tenaga pengajar, maka hal yang paling mungkin dilakukan untuk mendapatkan sumber dana dengan cara memperbanyak penerimaan peserta didik yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas hasil pendidikan jika penambahan tersebut di luar kemampuan riilnya…”

4.      Hal yang rancu juga kami dapatkan pada
Pasal 84 ayat (2) yang berbunyi Pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
           
            Pasal ini memperjelas bahwa dengan tata kelola keuangan yang mandiri (otonomi) maka sangat mungkin pihak kampus untuk memainkan dana dari peserta didik untuk menutupi segala kebutuhannya. Seperti yang sudah terjadi di beberapa Kampus BHMN. Biaya kuliah setiap tahunnya selalu naik. Uang Pangkal (sumbangan awal) jumlahnya bisa dibilang cukup besar. Dan sudah ada beberapa kampus yang memang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang mampu secara financial saja. Pada poin ini pun jelas, bahwa biaya pendidikan pun sudah di sesuaikan dengan kemampuan mahasiswa dan orang tua

5.       Mari kita lihat pasal 71 “Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional atau bentuk lain”.
BENTUK LAIN, dengan tegas kami pertanyakan, bentuk lain yang seperti apa yang menjadi akses masuk? Kalimat ini bisa menjadi celah bagi PT untuk membuat berbagai akses masuk untuk menambah pendapatan kampus. Seperti yang sudah terjadi dewasa ini. Dengan dasar PP 152 tahun 2000 yang mengamanatkan bentuk UI menjadi BHMN, maka mulai terbuka lebarlah celah dari Universitas untuk memperluas akses pendidikan dengan berbagai jalur masuk yang nyatanya hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berada. Dan apabila, dalam RUU Dikti ini masih mempertahankan penerimaan dalam BENTUK LAIN, maka dengan tegas kami katakan, bahwa keterangan itu perlu diperjelas dan diperjelas. Jangan sampai kerancuan pasal ini malah mengakibatkan terjadinya bisnis penerimaan mahasiswa baru.

Dalam sejarahnya, kebijakan adanya berbagai jalur masuk, telah mengorbankan sejumlah orang. Mereka adalah masyarakat miskin yang tidak bisa mengakses dan tidak memiliki dana. Pendidikan yang sebenarnya merupakan public service, seharusnya dapat memberikan pelayanan pendidikan yang terjangkau dan juga merata. Tidak perlu adanya privatisasi pendidikan. Sudah seharusnya pemerintah memprioritaskan hal ini karena masyarakat adalah investasi negara yang harus dibentuk kualitasnya.


Kesimpulan
Dengan melihat analisa pasal fokus pada bentuk otonomi dari perguruan tinggi, diketahui bahwa RUU Pendidikan Tinggi hampir serupa atau satu ruh dengan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yaitu bertujuan untuk adanya liberalisasi Pendidikan. Atau secara sederhana, membuka lahan investor-investor untuk menginvestasikan uangnya untuk pengembangan pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan dirasa bukanlah suatu lading investasi yang subur, sehingga dampak dari kurangnya investasi atau salah satu pemasukan universitas akan dibebankan pada peserta didik atau mahasiswa. Dan hal inilah yang membuat UU BHP dicabut pada awal tahun 2010 lalu.
Dengan berdasar pada hal itu, dinilai bahwa nilai-nilai otonomi yang terkandung dalam RUU Dikti belum dapat menyelesaikan masalah aksesbilitas pendidikan Indonesia. Bahkan bisa jadi akan menjadikan kerenggangan social yang sangat besar diantara masyarakat beruang yang dapat mendapatkan pendidikan tinggi dengan mudah dan masyarakat miskin yang sangat sulit mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. RUU ini dinilai hanya akan membawa sebuah masalah baru yang lebih kompleks dan berdampak sistemik yang dapat merugikan berbagai pihak.
Rekomendasi
Berdasar berbagai penjabaran di atas maka kami mendesak beberapa hal berikut
  1. Batalkan rencana pengesahan RUU pendidikan Tinggi
  2. Kembalikan status perguruan Tinggi BHMN dan BLU menjadi Perguruan Tinggi
  3. Wujudkan Pendidikan Tinggi yang sesuai dengan UUD 1945, Kovenan Ekosob, yang terjangkau dan tanpa diskriminasi.
Sikap
Kami Badan Eksekutif Mahsiswa Ikatan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Menolak Pengesahan dan Pembahasan RUU Pendidikan Tinggi dikarenakan masih ditemukannya ruh otonomi pendidikan seperti yang terkandung dalam Undang-undang BHP yang seyogyanya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 lalu karena tidak sesuai dengan konstitusi.



[1] Beliau adalah Guru Besar Administrasi Kebijakan Kesehatan FKM UI
[2] Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Koalisi Pendidikan , Resume Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi  ”Penyiasatan Anggaran Pendidikan 20%”, hal. 5.
[3] Peter Lanjouw,  Poverty, Education and Health in Indonesia: Who enefits from Public Spending?, dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Koalisi Pendidikan, ibid., hal. 6.
[4] lihat: konsideran huruf (c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[5] Selanjutnya disebut sebagai RUU Dikti
[6] Draft RUU Dikti tanggal 30 Maret 2012


                                                                                                     Kastrat BEM IM FKM UI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar